Diabetes, Tak Hanya Soal Kadar Gula
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksikan kenaikan pengidap diabetes melitus (DM) tipe 2 sebanyak 8,4 juta orang pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta pada tahun 2010. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (2007), diabetes melitus menduduki peringkat kedua sebagai penyebab kematian pada kelompok usia 45 tahun-54 tahun di perkotaan. Adapun di pedesaan, diabetes melitus menduduki peringkat keenam dengan jumlah proporsi kematian sebesar 5,8 persen.
Ketua Panitia The 19th Jakarta Diabetes Meeting (JDM), Dr dr Dante Saksono Harbuwono, SpPD, mengatakan, dalam temu pers terkait kegiatan JDM beberapa waktu lalu, diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik berupa ketidakmampuan tubuh memproduksi hormon insulin atau insulin dapat diproduksi, tetapi penggunaannya tidak efektif.
Insulin berperan besar dalam tubuh. Karbohidrat yang diperoleh dari asupan makanan dipecah menjadi gula dan masuk aliran darah dalam bentuk glukosa (senyawa siap pakai untuk menghasilkan energi).
Tingginya kadar glukosa setelah makan akan direspons kelenjar pankreas dengan memproduksi hormon insulin. Dengan bantuan insulin, glukosa masuk ke dalam sel. Dengan pertolongan insulin, kelebihan glukosa akan disimpan di dalam hati dalam bentuk glikogen. Saat lemas, kadar glukosa darah turun, glikogen dipecah menjadi glukosa guna memenuhi kebutuhan energi.
Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu penyebab resistensi insulin. Simpanan adipose (jaringan lemak) yang tinggi mengaktifkan rangkaian aktivitas tubuh yang memicu resistensi insulin..
Belakangan, para peneliti dari Universitas Kanazawa, Jepang, mengidentifikasi hormon yang diproduksi oleh hati yang diduga menjadi penyebab resistensi insulin. Mereka menemukan gen ”selenoprotein P” (SEPP1) yang lebih tinggi pada hati pada orang dengan diabetes tipe dua.
Komplikasi akut dapat disebabkan hiperglikemia parah, sedangkan komplikasi kronis ditandai dengan kerusakan, disfungsi, dan akhirnya kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan otak.
Pengobatan dan penemuan mutakhir di bidang diabetes yang dahulu glukosentrik, kini berubah. Di antaranya dengan HbA1C, berdasarkan sel darah merah. Pemeriksaan yang kini dikenal dengan A1C itu dapat menggambarkan rata-rata kadar gula darah dalam waktu dua-tiga bulan sebelumnya. Nilai A1C yang baik adalah 6,5 persen
Terapi sel punca
Menjaga pola makan dan aktivitas fisik masih merupakan pencegahan agar tidak diabetes atau mengontrolnya.
”Rumusnya 3J, yakni jenis beragam (terutama rendah lemak). Jumlah sedikit dan jadwal mesti tetap dalam arti makan tidak menunggu kelaparan sehingga asupan dapat dikendalikan. Jika diabetes kadung telah menjadi bagian hidup, perkembangan teknologi menawarkan berbagai harapan, di antaranya terapi sel punca. Terapi ini berpotensi meregenerasi sel rusak.
”Terapi sel punca adalah menstimulasi sel tidak rusak di dalam pankreas. Tiga sel lain direkayasa agar terdiferensiasi menjadi sel-sel beta sehingga nantinya pankreas dapat memproduksi insulin sendiri,” ujar Dante. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan RSUPN Cipto Mangunkusumo sedang mengujinya.
Terapi lain yang terus digali adalah yang berbasis herbal. Beberapa tanaman yang digali potensinya untuk mengatasi diabetes antara lain pare, kayu manis, dan ginseng. Meski penanganan diabetes semakin maju, pencegahan selalu terbaik. Apalagi kerusakan akibat penyakit yang kerap disebut kencing manis ini sungguhlah pahit.
(kompas.com, minggu 9 Januari 2011)
Post a Comment